Kamis, 01 September 2016

BUDAYA TRENGGALEK

Bersih Dam Bagong (nyadran)
Masih dalam bulan Selo penanggalan Jawa, setiap hari Jum’at Kliwon para petani dari 11 desa di Kecamatan Trenggalek dan Pogalan yang sawahnya mendapat pengairan dari Dam Bagong melaksanakan Upacara Bersih Dam Bagong. Selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara tersebut juga untuk memperingati jasa pemrakarsa pembangunan Dam Bagong, yakni Menak Sopal.


Dikisahkan pada pertengahan abad XVI, Menak Sopal sangat prihatin melihat sawah para petani selalu kekeringan dan gagal panen. Lalu Beliau mengajak masyarakat menaikan air Kali Bagong dengan membuat Dam. Namun, kerja keras tersebut selalu gagal – setiap begitu selesai dikerjakan, Dam tersebut runtuh.
Dari wangsit yang diperoleh, Dam harus diberi tumbal Gajah Putih. Dengan berbagai upaya, Gajah Putih berhasil diperoleh Menak Sopal dan dijadikan tumbal Dam tersebut.
Sekarang, dalam setiap peringatan Bersih Dam Bagong dikorbankan seekor kerbau sebagai pengganti Gajah Putih. Setelah disembelih, kepala dan daging kerbau tersebut dilempar ke “Kedung Kali Bagong” dan masyarakat beramai-ramai menceburkan diri ke sungai untuk berebut kepala dan daging tersebut. Acara ini dilanjutkan dengan Ruwatan Wayang Kulit dengan cerita Udan Mintoyo serta ziarah ke makam Menak Sopal yang biasa dikunjungi.

Tari Jaranan Turonggo Yakso

Trenggalek
Tari kebudayaan Jaranan Turonggo Yakso adalah salah satu kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh Trenggalek. Kebudayaan ini mula-mula dilakukan oleh masyarakat kecamatan Dongko, yang biasa disebut Baritan. Dinamakan Baritan, karena kesenian ini dilakukan “bubar ngarit tanduran” atau seusai bekerja di ladang.
Lalu, sejak tahun 1980an, oleh kepala desa Dongkos sendiri, kebudayaan diangkat menjadi kebudayaan khas kota Trenggalek, dengan nama Turonggo Yakso. Tari Jaranan Turonggo Yakso ini menceritakan tentang kemenangan warga desa dalam mengusir marabahaya atau keangkaramurkaan yang menyerang desanya. Tarian ini selalu dibawakan setiap bulan Suro, dalam penanggalan Jawa, dan sudah ditentukan oleh seorang pawang atau sesepuh.
Waktu upacara ini dilakukan pada siang hari pukul 11.00, dimana proses pertama dimulai dengan berkumpulnya para petani sambil membawa perlengkapan sesaji, seperti ambeng dan longkong, serta tali yang dibuat dari bambu, yang biasa disebut Dadung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar